Tintin dan Kapten Haddock berkunjung ke Tana Toraja untuk menghadiri upacara adat Rambu Solo’, sebuah perayaan penguburan besar-besaran yang menggambarkan penghormatan mendalam kepada leluhur. Mereka menginap di sebuah Tongkonan, rumah tradisional khas Toraja yang megah dan penuh ukiran simbolik.

Bab 1 – Undangan ke Toraja

Suatu pagi yang cerah di Moulinsart, suasana tenang seperti biasa. Burung-burung berkicau di taman, dan Kapten Haddock tampak sibuk menyiram tanaman sambil mengomel pada sebatang pohon bonsai yang tak kunjung tumbuh. Di dalam rumah, Tintin sedang membaca setumpuk surat yang baru datang.

“Kapten, dengar ini,” ujar Tintin sambil tersenyum kecil. “Kita diundang oleh Dr. Dyandra Paramita. Dia antropolog dari Indonesia yang kita temui waktu di Bali. Dia sedang melakukan penelitian di Tana Toraja.”

“Tana… apa?” tanya Kapten Haddock, meletakkan selang air dan mengibaskan tangannya. “Kedengarannya seperti nama minuman keras.”

“Toraja,” ulang Tintin, sambil menunjuk peta. “Daerah pegunungan di Sulawesi Selatan. Mereka akan mengadakan upacara pemakaman besar-besaran yang disebut Rambu Solo’. Dr. Dyandra pikir kita akan tertarik melihat budaya dan tradisi unik mereka.”

Kapten Haddock mengangkat alis. “Pemakaman? Kedengarannya menyenangkan…”

Beberapa hari kemudian, mereka terbang dari Paris ke Makassar, lalu melanjutkan perjalanan berjam-jam ke utara menuju kota kecil bernama Rantepao. Jalanan berkelok dan naik-turun, melewati hamparan sawah, kabut gunung, dan desa-desa dengan rumah beratap melengkung seperti perahu terbalik.

“Lihat itu!” ujar Tintin sambil menunjuk ke deretan bangunan kayu dengan ukiran warna-warni. “Itu Tongkonan, rumah adat khas Toraja.”

Kapten Haddock mendengus, “Rumah-rumah ini lebih cocok jadi museum… Semoga tidak ada tikus raksasa di dalamnya.”

Sesampainya di Rantepao, mereka disambut hangat oleh Dr. Dyandra, seorang perempuan muda enerjik dengan ransel besar dan kamera tergantung di leher. Ia memperkenalkan mereka pada sopir lokal, serta menjelaskan rencana perjalanan selama mereka tinggal.

“Aku sudah siapkan penginapan di Tongkonan milik keluarga adat. Kalian akan merasakan langsung kehidupan tradisional Toraja.”

Kapten Haddock hanya bisa mengangguk sambil berusaha tersenyum. Dalam hati, ia masih berharap tempat itu punya tempat tidur empuk dan tidak terlalu banyak… kejutan.

Bab 2 – Malam di Tongkonan

Langit senja menyambut mereka saat mobil memasuki halaman sebuah Tongkonan besar yang berdiri gagah di antara pepohonan bambu dan ladang jagung. Atapnya melengkung tinggi ke langit seperti perahu yang hendak berlayar. Ukiran merah, hitam, dan kuning menghiasi tiangnya, masing-masing memiliki makna spiritual dan simbol keluarga leluhur.

“Selamat datang di rumah kami,” ucap seorang pria tua berpakaian adat dengan tenang. “Rumah ini diwariskan turun-temurun sejak ratusan tahun lalu.”

Tintin dan Haddock membungkuk hormat, mengikuti jejak Dr. Dyandra yang langsung akrab dengan penghuni rumah. Mereka melepas sepatu, menaiki tangga kayu, dan masuk ke dalam ruang utama. Aroma kayu tua dan asap tipis dari dapur menyambut mereka, bercampur dengan bau kopi yang baru diseduh.

“Silakan duduk,” kata Dyandra. “Kopi khas Toraja, disangrai langsung dari kebun di lereng gunung Sesean.”

Kapten Haddock mengangkat cangkir dengan skeptis, mencium aromanya… lalu menyeruput perlahan.

Matanya membelalak. “Astaga… ini luar biasa. Kaya rasa, lembut, tapi kuat. Tak ada kata lain—ini kopi bajak laut!”

Tintin tertawa. “Kopi bajak laut?”

“Artinya luar biasa,” jawab Haddock, masih terpesona dengan tiap tegukan.

Malam pun turun perlahan, membawa hawa dingin pegunungan. Mereka mulai menyiapkan diri untuk tidur di kamar tamu, ruangan kayu sederhana tanpa banyak perabot. Namun sebelum itu, salah seorang tetua mengingatkan: “Di rumah ini, ada roh leluhur yang belum dilepas. Harap tenang, jangan mengganggu.”

Tintin sedikit mengernyit. Haddock justru mengangkat alis, lalu menoleh ke Dyandra.

“Roh leluhur?” tanyanya.

Dyandra tersenyum, tenang. “Maksudnya mayat seorang anggota keluarga yang baru saja meninggal. Di sini, orang yang meninggal dianggap masih ‘sakit’ hingga upacara Rambu Solo’ digelar. Jadi, dia tinggal bersama keluarga dulu.”

Kapten Haddock membeku. “Maksudmu… ada mayat di rumah ini? Sekarang?”

Seketika, Snowy menggeram kecil dari sudut ruangan.

Dan saat malam kian larut, Tintin terbangun karena suara ringan seperti langkah kaki dari ruang tengah. Ia bangkit perlahan, membuka pintu, dan melihat…

Sebuah tubuh terbaring tenang di atas tikar, berpakaian lengkap, wajahnya damai. Di sampingnya, lilin menyala lembut. Tak ada aroma busuk—hanya ketenangan yang aneh, seperti seseorang yang sedang tidur panjang.

Tintin menatap sejenak. Lalu menutup pintu perlahan dan kembali ke kamarnya, bergumam pelan:

“Ini akan jadi perjalanan yang berbeda…”

Bab 3 – Lobo dan Andui

Keesokan paginya, mereka menuju ke sebuah situs pemakaman kuno yang terletak di tebing berbatu—Londa. Kabut masih menyelimuti perbukitan Toraja ketika mereka tiba di sana. Dari kejauhan, tebing itu tampak seperti benteng alam, namun semakin dekat, barulah tampak jelas: lubang-lubang persegi yang menganga di dinding batu, tempat para leluhur disemayamkan sejak abad ke-10.

Dr. Dyandra menunjuk ke arah bagian tengah tebing. “Di sanalah kerangka Lobo dan Andui disimpan. Dua jiwa muda yang kisahnya hidup terus dalam bisikan angin dan bisu batu.”

Tintin menatap lekat. Dua peti kayu tua tampak berdampingan di balik pagar kayu sederhana. Tak jauh dari situ, dua patung Tau-tau kecil berdiri memandang jauh ke lembah, wajahnya tenang seolah tahu segalanya.

“Mereka tak dikubur?” tanya Tintin.

“Tidak,” jawab Dyandra. “Jenazah di Toraja disimpan, bukan dikubur. Itu bentuk penghormatan. Kerangka mereka kini abadi di sini, di antara leluhur dan langit.”

Kapten Haddock menatap curamnya tebing. “Dan tempatnya… disusun berdasarkan kasta?”

“Betul,” sahut Dyandra. “Semakin tinggi kastanya, semakin tinggi posisi penyimpanannya. Untuk bangsawan, dibuatkan patung sebagai penjaga. Tapi tak semua punya tempat resmi. Di sisi lain tebing ada dua goa alami… penuh kerangka. Ada yang masih dalam peti, tapi banyak juga yang hanya tergeletak di batu.”

Mereka pun melangkah masuk ke salah satu goa. Ruangannya sempit dan gelap. Tintin harus menunduk, bahkan merangkak perlahan. Bau tanah tua dan kayu membaur dengan hawa dingin lembab.

Di dalam sana, ratusan kerangka menyambut mereka. Hening. Hanya suara langkah dan napas mereka yang terdengar.

Kapten Haddock bergumam, “Ini… seperti museum abadi.”

Snowy meringkuk dekat kaki Tintin, tampak sedikit gelisah. Tapi Tintin, dengan wajah serius, hanya berkata lirih, “Lobo dan Andui memilih cinta, meski dunia menolak. Dan di sini, cinta mereka abadi—dalam diam, dalam batu.”

Bab 4 – Persiapan Rambu Solo’

Hari mulai menghangat ketika Tintin, Kapten Haddock, dan Dr. Dyandra kembali dari Londa. Mereka disambut suara tetabuhan bambu dan gong di kejauhan. Suara itu datang dari sebuah dusun yang tengah bersiap menggelar upacara kematian paling sakral di Toraja—Rambu Solo’.

Di pelataran Tongkonan, rumah adat dengan atap melengkung seperti tanduk kerbau, warga berkumpul. Beberapa pria sedang memotong bambu dan mendirikan panggung, sementara ibu-ibu menyiapkan daun pisang dan peralatan memasak.

Dr. Dyandra mengajak mereka masuk ke dalam Tongkonan yang mereka inapi sejak kemarin. Di salah satu sudut ruangan, berdiri sebuah peti mati besar berukir halus. Di sekelilingnya dipasang sesajen dan dupa.

“Mayat itu… sudah berapa lama disimpan di sini?” tanya Tintin, setengah berbisik.

“Delapan bulan,” jawab Dyandra tenang. “Tapi tidak bau. Sudah diberi ramuan tradisional.”

Kapten Haddock mengernyit. “Dan… baru akan dimakamkan sekarang?”

“Iya,” lanjut Dyandra. “Di sini, pemakaman bukan soal waktu. Harus menunggu seluruh keluarga berkumpul, dan yang paling penting: biaya harus cukup. Karena dalam Rambu Solo’, minimal harus menyembelih satu kerbau bule.”

“Kerbau bule?” seru Kapten Haddock. “Yang itu?” Ia menunjuk ke halaman belakang, tempat seekor kerbau putih berdiri anggun di bawah pohon.

“Betul,” kata Dyandra. “Namanya Tedong Bonga. Harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Kerbau ini dipercaya mampu mengantar arwah ke alam baka.”

Kapten Haddock tergagap. “Ratusan juta… untuk seekor kerbau?!”

Tintin tersenyum. “Tapi ini bukan sekadar hewan. Ini simbol, Kapten. Sebuah jalan pulang.”

Kapten Haddock akhirnya duduk di beranda Tongkonan, menyesap secangkir kopi hitam yang disajikan oleh seorang pemuda lokal.

“Apa ini… kopi Toraja?” tanyanya.

“Iya,” jawab si pemuda. “Yang terbaik dari tanah tinggi kami.”

Haddock menyesapnya pelan, lalu mengangguk puas. “Luar biasa… pekat, harum, dan hangat. Cocok untuk menyaksikan dunia yang berjalan lambat… dan penuh makna.”

Di kejauhan, suara gong kembali berdentang. Rambu Solo’ akan segera dimulai.

Bab 5 – Rahasia di Balik Tau-Tau

Sore mulai menjingga di langit Toraja. Rambu Solo’ baru saja dimulai. Di pelataran Tongkonan, warga berbaris rapi, membawa sesaji dan beras merah. Di tengah prosesi, puluhan patung kayu kecil berdiri tegak di panggung bambu—Tau-Tau, simbol roh leluhur yang telah berpulang.

“Patung-patung itu… menyeramkan tapi megah,” bisik Kapten Haddock.

“Tau-Tau,” jelas Dr. Dyandra, “dibuat menyerupai wajah almarhum. Hanya bangsawan yang boleh memilikinya. Ini bentuk penghormatan.”

Tintin mendekati salah satu Tau-Tau yang matanya tampak seperti menatap langsung ke jiwanya. Wajahnya lapuk, tapi sorotnya seolah hidup. Di baliknya, tersimpan kisah yang lebih dari sekadar ukiran.

“Konon,” lanjut Dyandra, “beberapa keluarga menyimpan pesan-pesan terakhir di balik Tau-Tau. Ada yang menaruh jimat, surat, bahkan… peta harta.”

“Peta harta?” ulang Haddock, matanya berbinar.

“Legenda lokal saja,” jawab Dyandra sambil tersenyum. “Tapi kadang legenda itu mengandung kebenaran kecil.”

Sementara itu, makan malam disajikan. Di tengah meja, nampan besar berisi nasi bambu, ayam burak, pa’piong daging babi, dan satu hidangan berwarna merah pekat yang beraroma menggoda.

“Silakan coba,” ujar tuan rumah.

Kapten Haddock yang lapar langsung menyendokkan potongan daging ke mulutnya—tanpa curiga.

Satu detik…

Dua detik…

Lalu mendadak, wajahnya memerah, matanya membelalak, dan ia melompat dari kursinya.

“Kapten?!”

“P-PEDAS! Ini seperti api neraka!” jeritnya, berkeringat deras. “Apa ini?!”

“Itu lada katokkon,” kata Dyandra tertawa. “Cabai khas Toraja. Kecil, tapi legendaris pedasnya.”

Haddock segera menenggak air kelapa, lalu duduk terengah, pipi masih memerah.

“Lada… apa tadi? Lada katak-pukul?!”

“Lada katokkon, Kapten,” sahut Tintin geli. “Catat itu, senjata makan malam mematikan.”

Sementara semua tertawa, tak seorang pun menyadari bahwa di salah satu Tau-Tau yang berdiri di belakang mereka… ada sesuatu yang terselip di balik ukiran kayunya. Selembar kertas tua… nyaris tak terlihat… menyimpan petunjuk akan sesuatu yang lebih besar.

Bab 6 – Peta Rahasia di Tau-Tau

Malam merambat turun di desa, tetapi pikiran Tintin masih dipenuhi bayangan Tau-Tau yang menatap kosong ke arah langit. Ia tak bisa melupakan perasaan aneh saat berada di dekat salah satu patung—seolah ada sesuatu yang disembunyikan di balik kayunya.

Setelah semua tertidur, Tintin menyelinap keluar dari Tongkonan, ditemani hanya oleh cahaya bulan dan suara serangga malam. Ia mendekati deretan Tau-Tau yang kini sunyi, berdiri kaku dalam kesendirian mereka.

Tangannya meraba bagian belakang salah satu Tau-Tau, yang sempat ia curigai sejak sore tadi. Kayunya agak longgar… dan benar saja, dengan sedikit tekanan, muncul celah kecil. Dari sana, ia menarik selembar kertas tua, rapuh dan usang.

Seketika langkah kaki terdengar di belakangnya.

“Sedang apa kamu, Tintin?” suara Dr. Dyandra memecah keheningan. Tapi wajahnya tidak marah. Justru penasaran.

Tintin menunjukkan kertas itu. Mereka berdua membukanya perlahan.

“Peta?” tanya Dyandra.

“Sepertinya,” jawab Tintin sambil mengamati garis-garis kasar dan simbol-simbol kuno yang tergambar.

Di sudut peta, terukir lambang kepala kerbau, dan tulisan aksara Bugis kuno. Dyandra menyipitkan mata, mencoba membaca.

“Ini… mengarah ke tempat di balik Batutumonga. Ada simbol gua… dan tanda matahari terbit. Seperti… penunjuk arah rahasia.”

Kapten Haddock muncul dari balik bayangan, masih mengipas-ngipas lidahnya yang belum sepenuhnya pulih dari lada katokkon. “Apa lagi sekarang? Harta karun?!”

“Mungkin,” kata Tintin. “Atau mungkin… rahasia besar tentang leluhur Toraja.”

Dyandra menatap jauh ke arah bukit-bukit yang memutih di kejauhan.

“Kalau benar ini petunjuk menuju situs kuno, kita harus bersiap. Besok pagi, kita menuju Batutumonga.”

Kapten Haddock menghela napas panjang. “Petualangan, peta rahasia, dan kerbau bule… Tolong pastikan tidak ada lada katokkon dalam perjalanan ini!”

Bab 7 – Jejak Leluhur di Batutumonga

Pagi itu, kabut tipis menyelimuti perbukitan Batutumonga. Dari ketinggian, sawah-sawah bertingkat membentuk pola hijau yang memukau, seakan dilukis tangan dewa. Tintin, Kapten Haddock, dan Dr. Dyandra menatap pemandangan itu dari atas jip tua yang menanjak perlahan di jalan berbatu.

“Indah sekali,” gumam Tintin. “Seperti lukisan hidup.”

“Dan dingin sekali!” keluh Kapten Haddock sambil menarik jaketnya rapat-rapat. “Kenapa harta karun tidak pernah dikubur di tempat hangat?”

Setelah satu jam perjalanan, mereka tiba di sebuah ladang terbuka yang ditandai oleh pohon beringin tua. Dyandra membandingkan lokasi itu dengan peta dari balik Tau-Tau.

“Di sinilah titiknya,” katanya. “Jika kita mengikuti arah matahari terbit dari sini…”

Mereka berjalan kaki menyusuri jalan setapak menuju sisi bukit. Tak lama, di balik semak dan batuan besar, mereka menemukan mulut gua kecil, tersembunyi oleh akar-akar dan lumut.

Kapten Haddock menatap lubang itu dengan curiga. “Kecil sekali. Ini gua atau rumah kelinci?”

“Ini Toraja, Kapten,” sahut Dyandra. “Banyak gua makam yang harus dijangkau dengan merangkak.”

Dengan senter di tangan, mereka masuk satu per satu. Lorongnya sempit dan dingin, dengan bau tanah tua yang lembab. Di dinding gua, terlihat ukiran primitif dan simbol kepala kerbau berulang.

Tintin menyentuh salah satu simbol. “Ini seperti… penanda jalur. Mungkin jejak para leluhur.”

Tiba-tiba mereka mendengar suara gemerisik di ujung lorong. Cahaya senter menyibak bayangan… tampak ruangan kecil dengan tumpukan tulang-belulang, peti kayu usang, dan… sebuah batu besar dengan ukiran berbeda.

Dr. Dyandra mendekat. “Ini… bukan makam biasa. Ini tempat pemujaan kuno.”

Di atas batu, sebuah prasasti kecil terbaca samar-samar: “Warisan ditinggalkan bagi yang tak hanya mencari, tapi memahami.”

Kapten Haddock menatap heran. “Apa maksudnya?”

“Entahlah,” ujar Tintin pelan. “Tapi aku rasa, kita semakin dekat… dengan sesuatu yang besar.”

Bab 8 – Bayangan di Londa

Matahari mulai turun saat mereka tiba di Londa—sebuah tebing batu yang menjulang, sunyi namun memancarkan aura kuat. Di dinding tebing itu, peti-peti mati tersusun dalam ceruk-ceruk, sebagian sudah rapuh dimakan waktu. Patung-patung Tau-Tau berdiri menghadap keluar, menatap dunia dengan mata kosong.

“Ini… benar-benar tempat pemakaman?” tanya Kapten Haddock dengan nada tak yakin.

Dr. Dyandra mengangguk pelan. “Sudah sejak abad ke-10. Jenazah dimasukkan ke peti, lalu disimpan di sini. Bukan dikubur. Dulu, semakin tinggi kastanya, semakin tinggi dia disimpan.”

Mereka menyusuri jalan sempit menuju dua gua gelap di kaki tebing. Udara dingin menyergap begitu mereka melangkah masuk. Aroma tanah lembab dan kayu tua memenuhi rongga napas. Di dalam gua, ratusan kerangka terlihat—beberapa dalam peti, lainnya terbuka begitu saja. Hening, tapi bukan hening yang biasa. Hening yang menyimpan bisikan masa lalu.

Tintin menyalakan senter, menyorot dinding batu yang basah.

“Lihat ini!” ujarnya pelan.

Di salah satu sudut gua, tampak dua kerangka disimpan berdampingan, petinya hampir menyatu. Di depan mereka, sepasang Tau-Tau kecil berdiri bersebelahan—lelaki dan perempuan.

“Lobo dan Andui,” gumam Dyandra. “Kisah cinta yang ditolak keluarga. Mereka memilih mati bersama. Masyarakat menyimpan jasadnya berdampingan, sebagai penghormatan.”

Haddock, yang biasanya ceplas-ceplos, kini diam. Ada sesuatu yang membuat semua orang enggan bicara keras di tempat ini.

“Tebing ini,” lanjut Dyandra pelan, “bukan hanya makam. Ini museum kehidupan. Di sini, kematian bukan akhir. Ia bagian dari perjalanan.”

…Tiba-tiba… terdengar suara bergema pelan—seperti gesekan kayu. Senter Tintin menyorot ke kiri—sebuah peti tua tampak bergeser sedikit. Entah karena kelembaban… atau sesuatu yang lain.

Kapten Haddock merapat ke Tintin. “Bolehkan saya bilang… tempat ini mulai menyeramkan?”

Tintin tak menjawab. Ia justru mendekat ke dinding, memperhatikan simbol yang sama dengan yang mereka lihat di gua Batutumonga.

Namun saat Haddock mengalihkan pandangannya ke deretan Tau-Tau di sisi kanan gua… dia mendadak melompat mundur.

“GYAAGH!! Rastapopoulos?!”

“APA?!” Tintin menoleh cepat.

Haddock menunjuk satu patung Tau-Tau, dengan ekspresi tegang. Wajah patung itu… memang menyerupai tokoh licik musuh bebuyutan mereka—Rastapopoulos. Mata sipit, alis melengkung tajam, dan kumis rapi. Bahkan gaya rambutnya pun sama!

Dyandra tertawa kecil, menahan kagetnya. “Itu hanya kebetulan, Kapten. Tau-Tau dibuat menyerupai wajah orang yang dimakamkan, mungkin leluhur mereka memang mirip tokoh yang Kapten maksud.”

“Kalau begitu semoga hanya wajahnya yang mirip, bukan sifatnya!” gerutu Haddock sambil melirik curiga.

Tintin tersenyum, lalu kembali menatap simbol di dinding gua.

“Aku rasa, kita belum sampai di inti misteri ini… Tapi kita sudah sangat dekat.”

Bab 9 – Tanda dari Leluhur

Malam turun perlahan di pegunungan Toraja. Langit penuh bintang, tapi hawa dingin menusuk tulang. Di sebuah tongkonan terpencil yang mereka sewa untuk bermalam, suasana hening seakan ikut menyimpan rahasia para leluhur.

Tongkonan itu besar, megah, dan penuh ukiran kayu berwarna merah, hitam, dan emas. Di dalamnya, suasana temaram diterangi lampu minyak. Aroma kayu tua dan rempah menggantung di udara.

Dr. Dyandra duduk bersila di dekat perapian kecil, membuka lembaran catatan dari peneliti Belanda abad ke-19. “Lihat ini,” ujarnya. “Ternyata simbol yang kita temukan di gua Batutumonga dan Londa… pernah dicatat sebagai bagian dari sistem penanda peta langit.”

Tintin menatap dengan serius. “Kau maksud… ini seperti bintang?”

Dyandra mengangguk. “Tapi bukan peta langit biasa. Melainkan penanda waktu—kalender leluhur. Jika simbolnya benar, ada satu hari setiap beberapa tahun… di mana posisi matahari menyorot tepat ke titik tertentu di gua.”

Kapten Haddock melirik jendela. “Dan kau berharap itu besok pagi?”

“Besok adalah Rambu Solo’, hari besar kematian,” jawab Dyandra. “Kalau dugaanku benar, cahaya pagi akan membuka sesuatu… yang telah lama dikunci oleh waktu.”

Tiba-tiba, terdengar suara dari loteng. Seperti benda jatuh.

Tintin berdiri cepat. “Ada seseorang di atas?”

Mereka bertiga naik tangga sempit menuju loteng. Di sana, mereka menemukan… sebuah peti kayu. Bukan peti mati, melainkan kotak penyimpanan tua, terkunci rapat. Tapi yang membuat mereka terpaku bukan petinya—melainkan ukiran di tutupnya.

“Simbol yang sama,” gumam Tintin. “Ini bukan kebetulan.”

Kapten Haddock menghela napas. “Kutukan atau bukan, rasanya kita sudah terlalu jauh untuk mundur.”

Sementara itu, dari jendela loteng, cahaya bulan menyorot lurus ke arah hutan di kaki bukit. Dan dalam garis cahayanya… terlihat formasi batu-batu kecil membentuk pola yang sangat familiar.

Sebuah pesan dari masa lalu.

Bab 10 – Gerbang yang Terbuka

Fajar menyingsing perlahan di ufuk timur. Kabut tipis menyelimuti bukit, membuat suasana pagi itu terasa magis. Tintin, Kapten Haddock, dan Dr. Dyandra sudah berdiri di depan gua Batutumonga. Mereka kembali ke sana sebelum matahari terbit, mengikuti pola simbol yang mereka pecahkan semalam.

“Tepat jam enam lewat lima belas,” ujar Dyandra, menatap arlojinya. “Jika benar… cahaya akan masuk dari celah atas gua.”

Mereka diam menunggu. Dan tepat seperti yang tertulis di manuskrip tua, cahaya keemasan muncul, masuk melalui celah sempit di langit-langit gua, membentuk garis lurus yang menyinari bagian dinding tertentu.

“Arahkan senter ke sana!” seru Tintin.

Dengan hati-hati, mereka menyibak lumut yang menutupi bagian itu. Sebuah relief batu muncul—berbentuk seperti lingkaran matahari, dengan tiga bintang kecil mengelilinginya.

Dyandra menekan bagian tengah relief. Terdengar klik… dan dinding itu perlahan bergerak mundur, membuka sebuah ruang rahasia kecil di balik batu.

“Bukan lorong,” kata Tintin pelan. “Hanya… ruang persembunyian.”

Di dalamnya, mereka menemukan gulungan kain tua, sepasang patung kecil dari emas, dan sebuah naskah kuno bertuliskan aksara lontara.

Dyandra menarik napas. “Ini bukan harta… ini catatan sejarah. Tentang migrasi nenek moyang Toraja dari utara ribuan tahun lalu.”

Kapten Haddock mendekat, memandangi patung kecil itu. “Jadi… tak ada tongkonan emas yang legendaris?”

Dyandra menggeleng. “Legenda sering lahir dari sesuatu yang nyata… lalu berubah karena waktu. Tapi justru sejarah aslinya jauh lebih berharga.”

Tintin mengangguk pelan. “Misteri yang tidak membawa kita pada emas, tapi pada asal usul sebuah peradaban.”

Saat mereka hendak keluar dari gua, terdengar suara langkah cepat—tap tap tap! Snowy muncul dari kegelapan dengan ekornya bergoyang cepat… dan mulutnya menggigit sebuah tulang panjang.

“SNOWY!” seru Tintin kaget. “Letakkan itu!”

Snowy berhenti seketika, menoleh dengan wajah tak bersalah, lalu dengan enggan meletakkan tulang di lantai gua. Ia menggonggong pelan, seolah berkata, “Tapi aku pikir ini suvenir…”

Haddock memutar bola matanya. “Kupikir aku akan pulang membawa peti harta karun. Tapi malah dapat pelajaran sejarah…”

Ia duduk dan mengambil cangkir kopi Toraja yang dibawakan penduduk setempat.

“Setidaknya, kopinya tetap luar biasa…”

Tapi saat menyeruput… “AAARGH!!” teriaknya.

“Kenapa, Kapten?” tanya Tintin.

“Cabainya! Pedasnya seperti amarah seribu nenek moyang!”

Penduduk sekitar tertawa. “Itu lada katokkon, Kapten! Hanya orang Toraja asli yang bisa tahan!”

Semua tertawa, dan pagi di pegunungan itu pun terasa hangat.

Kapten Haddock memegangi dahinya. “Astaga… anjing ini bisa bikin kita dikejar arwah leluhur!”

Penduduk lokal hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. “Snowy sudah dianggap tamu sekarang, tapi tetap saja… jangan bawa oleh-oleh dari dunia kematian.”

Bab 11 – Epilog: Di Antara Awan dan Leluhur

Beberapa hari setelah upacara Rambu Solo’, kabut pagi kembali menyelimuti pegunungan Toraja. Suara bambu terbakar, nyanyian adat, dan tabuhan gendang masih menggema di kejauhan—mengiringi roh yang dihormati kembali ke alam leluhur.

Tintin berdiri di beranda tongkonan, memandang ke arah tebing Londa. Di sanalah kisah cinta Lobo dan Andui diabadikan—dua kerangka remaja yang disimpan berdampingan, tak pernah terpisahkan lagi.

“Cinta mereka tak mendapat restu saat hidup, tapi dihormati saat mereka mati,” ujar Dyandra pelan di sampingnya. “Orang Toraja percaya, cinta sejati tak pernah dikubur.”

Tintin mengangguk. “Dan Snowy hampir membawa pulang tulangnya…”

Mereka tertawa kecil.

Kapten Haddock muncul membawa nampan bambu berisi kopi panas dan kue tradisional dari beras ketan.

“Yang ini aman, tanpa lada katokkon!” katanya sambil meletakkan nampan.

“Terima kasih, Kapten. Tapi aku rasa aku sudah ketagihan,” sahut Dyandra sambil mengambil cangkirnya.

Haddock duduk di tangga tongkonan, menatap awan bergulung di antara lembah.

“Aku masih tak percaya, kita sudah tidur sekamar dengan mayat,” gumamnya.

“Mayat yang tak bau,” kata Tintin. “Dan belum dikubur karena keluarganya belum lengkap dan… belum cukup dana untuk kerbau bule.”

Haddock mengangguk. “Kerbau seharga rumah… dunia ini memang aneh.”

Mereka terdiam sejenak, membiarkan angin pagi dan aroma kopi memenuhi udara. Petualangan kali ini tidak menghasilkan ledakan atau kejar-kejaran, tapi mereka membawa pulang sesuatu yang jauh lebih langka: pemahaman dan penghormatan.

Dari atas bukit, terlihat burung elang melayang tinggi. Di bawahnya, tanah Toraja yang sakral terbentang seperti kanvas hidup—penuh cerita, simbol, dan jiwa.

Dan seperti awan yang menari-nari di langit Sulawesi, kisah ini pun perlahan memudar…

…meninggalkan jejak yang tak akan pernah hilang dari hati.

________________________________________

Catatan : Tulisan ini merupakan adaptasi dari pengalaman penulis saat berkunjung ke Tana Toraja dan dibuat fiksi dengan mengambil tokoh Tintin dan Kapten Haddock serta Snowy supaya lebih menarik. Tidak untuk komersial, hanya menyalurkan hobi saja.