Nasionalisme bagi saya adalah perasaan bangga akan bangsa sendiri yang berasal dari dalam jiwa. Tidak dibuat-buat atau sekedar ikut-ikutan. Salah satu contoh timbulnya rasa nasionalisme ketika saya mengalaminya di Perumahan Griya Melati, Bogor tempat tinggal saat ini. Nasionalisme ternyata indah, bangkit dengan sendirinya tanpa kita sadari.
Perumahan kami termasuk perumahan kecil dengan jumlah rumah tidak lebih dari 200 rumah. Dapat dikatakan, perumahan kami seperti “Indonesia Kecil”, karena warga yang tinggal mewakili daerah-daerah di Indonesia, mulai dari warga asal Aceh sampai Papua. Mulai suku Sunda, Jawa, Batak sampai Ambon. Semua ada disini. Setiap tahun sejak perumahan ini berdiri sekitar 9 tahun lalu, kami selalu mengadakan acara kegiatan-kegiatan sosial termasuk memperingati HUT Kemerdekaan RI. Acaranya cukup beragam, mulai dari lomba tradisional anak-anak sampai pertandingan olahraga antar RT dan diakhiri acara Malam Panggung Gembira yang merupakan acara puncak peringatan kemerdekaan ini.
Teristimewa peringatan kemerdekaan pada tahun lalu, kami menyelenggarakan “Upacara Pengibaran Bendera Merah Putih”. Awalnya hanya beberapa warga mengusulkan diadakannya acara ini. Usulan ini disambut positif, walaupun awalnya dianggap sebuah usul yang aneh. Walau terkesan mendadak, beberapa warga langsung bahu membahu dan gotong royong mempersiapkan acara ini. Mulai dari pembuatan tiang bendera sederhana dari bambu, podium untuk inspektur upacara, pelantang, dokumentasi, sampai pembentukan petugas “paskibra”.
Semua berjalan lancar. Sampai membuat Si Mbah -seorang warga yang merupakan pejuang veteran RI – terharu, :”si mbah upacara disini saja, tidak perlu di kantor walikota“, ucap Si Mbah yang rajin inspeksi keliling komplek setiap bulan agustus untuk memastikan disetiap rumah sudah terpasang bendera Merah Putih. Dan apabila menemukan rumah yang tidak memasang bendera, beliau langsung menemui pemilik rumah, menerangkan tentang perjuangan merebut dan mempertahankan Merah Putih, begitu banyak pengorbanan yang diberikan. Dengan nada cukup tinggi beliau berkata,”Nak ini tidak pernah merasakan perjuangan, sekarang hanya mengibarkan bendera Merah Putih saja masih susah. Apa tidak punya uang untuk membeli bendera?” ucap si Mbak berapi-api. Tipikal seorang pejuang kemerdekaan jelas terlihat. Dan sejak saat itu, Merah Putih selalu berkibar disetiap rumah.
Salah seorang warga pensiunan militer dan seorang anggota PPI (Purna Paskibra Indonesia) ikut membantu melatih petugas Paskibra. Biasanya petugas Paskibra itu latihannya 1 bulan penuh, sedangkan ini cuma 1 hari pun tidak sampai. Banyak kejadian lucu pada saat latihan. Ada yang berjalan dengan kaki dan tangan melangkah maju bersamaan. Jalannya jadi seperti robot. Ada juga yang berjalan dengan tangan terkepal.
“Bu, tangannya jangan dikepal, kayak mau tinju aja”, ujar sang pelatih tersenyum geli.”Wis lupa lagi, terakhir upacara jaman SMA”,kilah sang petugas.”Kalo aku terakhir upacara pas kawinan, upacara adat” yang lain menimpali. Semuanya tertawa. Begitulah, suasananya. akrab dan penuh canda. Ada lagi yang bertanya, “Nanti pesertanya pake seragam apa pak RW?” “Pakaiannya bebas saja, tidak perlu pake seragam-seragam segala, yang penting niatnya tulus ikut upacara ini, tapi usahakan pakailah pakaian terbaik” jawab Pak RW penuh bijaksana.
Dan tibalah hari bersejarah itu. Petugas dan Pasukan Pengibar Bendera sudah siap. Pak RW yang bertindak sebagai Inspektur Upacara sudah ditempat. Begitu pula puluhan warga sudah hadir dengan pakaian terbaiknya. Mayoritas menggunakan batik -ciri khas Indonesia alasannya- ada juga yang menggunakan pakaian pejuang, yang lebih sensasional lagi ada yang menggunakan baju merah celana putih. “Ini sudah saya siapkan setahun lalu” ucapnya mantap. Tidak ketinggalan Si Mbah dengan seragam kebanggaannya: seragam Veteran RI dengan peci khasnya yang berwarna coklat muda. Walaupun kondisi Si Mbah sedang kurang sehat, beliau sedikit memaksakan diri untuk acara ini, “Si Mbah langsung sehat kalau melihat Merah Putih berkibar” ucapnya lantang.
Upacara berjalan khidmat, lancar dan mengharukan. Ternyata bisa juga kita serius, bisik seorang warga. Merah Putih sudah berkibar. Indonesia Raya sudah berkumandang. Dalam pesannya Pak RW mengatakan:”Kita patut bangga sebagai warga perumahan ini. Kita sudah melakukan apa yang semestinya harus kita lakukan untuk negeri ini. Biasanya kita mengadakan upacara berdera seperti ini karena terikat oleh peraturan dan sedikit unsur keterpaksaan. Karena kita seorang pegawai negeri maka harus upacara dikantor. Atau seorang pelajar yang wajib upacara disekolah, apabila tidak akan diskoring”.
“Upacara bisa dimana saja, yang penting hati dan jiwa kita bisa memaknai arti kemerdekaan ini”, ucapnya berapi-api. “Orang boleh mengatakan, bangsa ini sedang mengalami krisis nasionalisme, tapi disini -diperumahan ini- nasionalisme itu masih ada. Nasionalisme yang masih terpatri dalam diri bapak ibu dan saudara-saudara sekalian !” Lanjutnya.
Benar sekali apa yang dikatakan Pak RW tadi, yang penting adalah “jiwa”nya. Percuma raga kita capek berdiri apabila jiwa kita tidak bisa memaknai arti kemerdekaan. Seorang WR Supratman dengan jenius menulis dalam salah satu bait Indonesia Raya:
“Bangunlah Jiwanya.
Bangunlah Badannya.
Untuk Indonesia Raya…”
Badan yang tidak memiliki jiwa akan terasa Hampa. Sedangkan jiwa tanpa badan hanyalah berupa Roh. Maka “Bangunlah Jiwanya” terlebih dahulu, setelah itu baru “Bangunlah Badannya”. Kolaborasi itu akan membentuk seorang pribadi yang kuat.
Setelah upacara selesai, si Mbah pejuang veteran memberikan sebuah pesan, “Nak RW, Si Mbah terharu dan bangga, tolong lakukan upacara seperti ini sampai akhir zaman!” ucapnya lantang. Pak RW menjawab,” ….Siap, mbah. Itu sudah menjadi kewajiban kami sebagai penerus bangsa…”
Ternyata, masih ada Nasionalisme di negeri ini.
Salam Merdeka!
@harrismaul
Tulisan ini pernah dimuat di kompasiana dan akan menjadi satu bagian dari buku Cinta Indonesia Setengah: Suara Anak-Anak Zaman tentang Kebangsaan yang akan diterbitkan oleh Bentang Pustaka.