Bersamaan dengan Fiscal Day 2017 yang digelar pada 5-6 Oktober 2017 juga diadakan acara Bincang Fiskal dengan Blogger. Kesempatan tersebut tidak saya sia-siakan, langsung saya sanggupi ketika ada undangan datang. Sebagai seorang awam masalah keuangan negara (karena saat SMA masuk jurusan biologi), jadi belum faham betul apa itu fiskal. Sampai harus googling dengan kata kunci “fiskal adalah” dan menemukan informasinya ini di Wikipedia sebagai berikut :

Fiskal (Latin: Fiscus) berasal dari nama pribadi dari pemegang keuangan pertama pada zaman Kekaisaran Romawi, secara harfiah dapat diartikan sebagai “keranjang” atau “tas” [1] , (inggris: fisc) berarti perbendaharaan negara atau kerajaan. fiskal digunakan untuk menjelaskan bentuk pendapatan negara atau kerajaan yang dikumpulkan berasal dari masyarakat dan oleh pemerintahan negara atau kerajaan dianggap sebagai pendapatan lalu digunakan sebagai pengeluaran dengan program-program untuk menghasilkan pencapaian terhadap pendapatan nasional, produksi dan perekonomian serta digunakan pula sebagai perangkat keseimbangan dalam perekonomian. Dua unsur utama dari fiskal adalah perpajakan dan pengeluaran publik.

“Kebijakan fiscal = Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah.”

Setelah mempelajari dengan seksama kalimat tersebut, ternyata masih belum mengerti dengan benar juga. Duh nyerah deh. Nanti pas ketemuan aja dengan pihak BKF akan ditanyakan.

Adalah Bapak Hidayat Amir, PhD yang memberikan penjelasan secara lugas tentang fiskal. Beliau yang menjabat sebagai Kepala Pusat Kebijakan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI memberikan perumpamaan negara seperti sebuah lingkungan di sekitar rumah tangga.

Bapak Rifnaldi Akbar dan Hidayat Amir dari @BKFKemenkeu memulai acara #BincangBKF dalam rangka #FiscalDay2017

“Ibarat rapat RT, setiap kepala keluarga banyak mengusulkan hal-hal yang dibutuhkan di lingkungan rumah tangga. Ada yang perlu jalan yang bagus, ada yang perlu tempat sampah, ada yang perlu penerangan, ada yang perlu keamanan dan banyak keperluan lainnya.” Ungkapnya memberi perumpamaan.

“Namun semua keperluan itu tidak atau belum bisa dipenuhi semua, karena terbatasnya anggaran. Jadi tentu saja yang dilaksanakan adalah hal-hal yang prioritas.” Lanjutnya.

Demikian pula dengan keadaan keuangan negara. Tentu permasalahan yang ada juga lebih kompleks. Tidak sesederhana di tingkat RT. Dalam hal ini Kementerian Keuangan yang menjadi “bendahara” negara harus dapat mengelola asset ini dengan menyusun APBN yang adaptif, mengutamakan prioritas untuk kepentingan rakyat, menghapus subsidi yang hanya menguntungkan sebagian masyarakat, pemerataan pembangunan seperti infrastruktur yang selama ini sangat timpang.”

Fungsi dari Kementerian Keuangan adalah membiayai roda perekonomian negara, belanja kebutuhan, memberi gaji pegawai negeri dan mengelola hutang. Namun tidak semua hal dapat teramodir dengan biaya dari APBN karena sangat terbatas. APBN hanya membiayai sekitar 16%. Selebihnya mendapat sokongan dari swasta, BUMN dan utang luar negeri.

Membahas masalah utang, saya pun bertanya tentang utang negara kita yang sudah banyak. Bahkan ada media dan informasi yang banyak beredar mengatakan negara sudah bangkrut karena saking banyaknya utang. Entahlah pernyataan itu benar atau hoax. Kondisi sekarang memang sulit membedakan mana yang benar dan mana yang hoax. Jadi lebih baik kita cari informasi dari sumbernya langsung.

Ketika mendapat pertanyaan seperti itu Pak Hidayat malah balik bertanya kepada saya. “Apakah Mas Blogger ini punya utang?” Saya jawab iya. “Utang apa?” Cicilan rumah.

Nah beliau menjelaskan bahwa utang bukanlah aib. Setiap orang, setiap individu, setiap perusahaan, dan setiap negara tidak salah jika punya utang. Namun tentu saja utang tersebut harus masih dalam batas kewajaran. Sang pemberi utang juga tidak akan gegabah memberikan utang tanpa ada jaminan atau asset yang kita miliki. Utang yang diberikan pun harus sesuai dengan rasio perbandingan antara pendapatan dan cicilan. Jadi ngutang itu boleh-boleh saja asal kita rajin membayar cicilan dan tidak menunggak agar tidak terkena denda atau penalty.

Bagaimana dengan jumlah utang Indonesia yang katanya banyak itu? Pak Hidayat memjawab dengan memberikan sebuah tabel yang memperlihatkan rasio perbandingan utang luar negeri dengan PDRB negara G20 Indonesia menempat urutan ke 19 dari 20 dari rasio yang paling kecil. Hal ini menunjukkan kondisi keuangan Indonesia masih sehat walafiat.  Jadi berita-berita yang kurang sedang di luar sana anggap aja hoax ya.

 

Lalu program-program apa yang dibuat oleh Kementrian Keuangan untuk membantu orang yang tidak mampu? Ada beberapa program yang sudah dicanangkan dan berjalan. Diantaranya adalah Program Keluarga Harapan (PKH) yang merupakan jarring pengaman social. Pemberian dana tunai ini untuk membantu mereka yang kurang mampu, namun program ini diberlakukan sangat ketat. Selain itu ada juga program Pendidikan seperti Kartu Indonesia Pintar, program kesehatan Kartu Indonesia Sehat, Bidik Misi, bea siswa LPDP dan lain-lain.

Semua program di atas akan berjalan dengan baik dan terlaksana dengan benar jika didukung oleh masyarakat Indonesia. Apa saja yang dibutuhkan untuk mendukung program ini? Salah satunya adalah membayar pajak. Baik perorangan maupun perusahaan. Setiap orang yang sudah mempunyai penghasilan tetap dengan nilai tertentu diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang setiap tahun wajib dilaporkan. Kalo nggak lapor gimana? Ya nggak gimana-gimana sih, namun jika sekali waktu ada pemeriksaan harus siap-siap kurang bayar. Dalam hal ini negara sudah memberikan kepercayaan atau trust kepada warga negara untuk melaporkan penghasilan dan membayar pajaknya. Jadi tidak perlu ditagih-tagih. Bagi wajib pajak yang masih ragu dan ingin membuat NPWP silahkan datang ke kantor pajak terdekat dan bertemu dengan AR atau Account Representative untuk konsultasi masalah perpajakannya. Jadilah warga negara yang bijak, seperti kata pepatah, “orang bijak, taat pajak”.