Pagi buta kami harus segera keluar hotel menuju Amuntai untuk melihat aktifitas kerbau rawa, karena jika terlalu siang mereka sudah keluar dari rawa dan berkeliaran di padang rumput. Kabut asap bercampur embun pagi menyambut kedatangan kami di Dermaga Sungai Danau Panggang.

Tiba di Dermaga Sungai Danau Panggang

Pekatnya asap membuat perjalanan sedikit terhambat karena jarak pandang di dalam perahu menjadi sangat terbatas. Ditambah dengan banyaknya aktifitas di pagi hari di sungai tersebut membuat perahu yang kami tumpangi berjalan sangat pelan dan hati-hati.

Menembus kabut asap dan embun pagi di Sungai Danau Panggang

Kerbau rawa yang akan kami datangi adalah hewan khas dari Kalimantan Selatan tepatnya Amuntai. Mengapa kerbau yang biasa hidup di darat bisa ada dan hidup di rawa-rawa? Konon menurut hikayat jaman dulu, tersebutlah seorang nenek yang tinggal di wilayah Banjar yang waktu itu termasuk dalam kerajaan Dipa. Nenek tersebut biasa dipanggil Nini Racak, berusia sekitar 80 tahun dan tinggal seorang diri ditepi Sungai Danau Panggang.

Nini Racak dikenal sebagai tukang kutuk bertuah. Jika ia mengutuk  sesuatu maka akan langsung terjadi sesuatu sesuai dengan apa yang disebutkannya. Seperti ketika ia mengutuk para pedagang yang dating ke desa menjadi monyet. Waktu itu para pedagang tersebut tidak mengetahui kesaktian Nini Racak. Mereka tiba-tiba terlibat adu mulut dengan sang nenek, kontan sang nenek menjadi geram dan langsung berteriak, “Dasar monyet, monyet, monyet, monyet, monyet… “  dan seketika ke lima pedagang tersebut berubah menjadi monyet.

Sedangkan mengenai kerbau rawa berawal ketika di kediaman Nini Racak kerap kehilangan padi yang biasa di tumbuk di lesung tempat menumbuk padi. Sang nenek mengira padi tersebut hilang dimakan oleh lesung sendiri sehingga ia mengutuk lesung menjadi kerbau dan alu-nya menjadi tanduk.

Karena sudah tidak punya lesung dan alu untuk menumbuk padi, Nini Racak meminjam kepada tetangganya. Namun padi yang sudah ditumbuk kembali hilang. Spontan sang nenek mengutuk lesung dan alu menjadi kerbau. Demikian seterusnya sampai lesung dan alu seluruh kampung habis dan berubah menjadi kerbau dengan jumlah banyak. Mereka sudah tidak bisa hidup diperkampungan lagi sehingga harus dipindahkan ke rawa-rawa sekitar Sungai Danau Panggang. Maka jadilah kerbau rawa yang dikenal hingga saat ini. Demikian cerita hikayat Nini Racak yang beredar seputar asal muasal kerbau rawa di Amuntai.

Tanpa terasa, akhirnya tiba juga di tempat kerbau rawa tinggal. Nampak dari kejauhan rombongan kerbau rawa sedang mencari makan. Seharusnya mereka tinggal di rawa-rawa sekitar sungai, namun karena air sungai surut karena kekeringan, rawapun menjadi kering dan berubah menjadi daratan. Kami langsung turun dari perahu dan mendekati kawanan kerbau rawa tersebut. Sepintas penampakan mereka tidak berbeda dengan kerbau biasa yang dipelihara petani untuk membajak sawah.

Kerbau rawa sendiri merupakan hewan ternak yang dipelihara oleh beberapa penduduk disekitar Sungai Danau Panggang. Menurut Pak Sarkane yang menjadi pemandu kami, setiap kelompok kerbau rawa terdiri dari 70 sampai 300 ekor yang dimiliki oleh beberapa keluarga. Total untuk satu desa di sekitar Sungai Danau Panggang ada 5.000 ekor kerbau rawa yang dipelihara. Biasanya saat musim haji atau idul adha dijual dengan harga 15 juta per ekor atau jika dihitung berat Rp.140.000 per kg.

Kerbau Rawa sedang keluar kandang di Amuntai. (Foto : Barry Kusuma)

Setelah selesai mengunjungi kerbau rawa kami kembali ke penginapan dan segera check out untuk melanjutkan perjalanan. Target berikutnya adalah Kota Balikpapan. Saat melewati Tabalong kami singgah di Rumah Makan Palian untuk makan siang sekaligus bertemu dengan salah seorang sahabat yang kini tinggal di Tanjung, ibukota Tabalong. Rumah makan menyajikan kuliner khas berupa udang dan ikan yang diberi kuah palian, yang terbuat dari sari kepala dan aneka bumbu khas lokal.

Palian, Makanan khas Tabalong

Dari Tabalong perjalanan dilanjutkan dan mulai memasuki Propinsi Kalimantan Timur. Jalanan mulai tidak bersahabat karena banyak yang rusak dan sempit. Dua jam kemudian kami sudah sampai di Kabupaten Paser dan akhirnya tiba di Penajam Paser Utara. Dari Penajam kami menggunakan kapal ferry untuk menuju Balikpapan. Setelah makan malam akhirnya kami bisa beristirahat di hotel memasuki tengah malam.

ferry

Suasana di kapal ferry menuju Balikpapan